Khutbah Jum’at yang Terabaikan: Refleksi Terhadap Fenomena Keberagamaan di Era Digital


Oleh: Dr. H. Rahmat Hidayat, Lc., M.Phil

Dosen FUSHPI dan Sekprodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Di era digital saat ini, interaksi sosial masyarakat mengalami transformasi yang signifikan. Menurut laporan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2024, pengguna internet di Indonesia mencapai 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa pada tahun 2023. Tingkat penetrasi pengguna internet di Indonesia mencapai 79,5%, mengalami peningkatan sebesar 1,4% dibandingkan dengan periode sebelumnya (lihat apjii.or.id). Angka-angka ini tidak hanya menunjukkan pertumbuhan pengguna internet, tetapi juga mencerminkan perubahan mendasar dalam cara masyarakat berkomunikasi dan berinteraksi, termasuk dalam konteks beragama. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana teknologi dan media sosial mempengaruhi praktik keagamaan dan interaksi sosial umat Islam.

Shalat Jumat, sebagai salah satu ibadah yang memiliki nilai sosial dan spiritual yang tinggi, kini menghadapi tantangan baru akibat adanya distraksi dari teknologi dan media sosial. Salah satu fenomena yang menarik perhatian adalah kecenderungan masyarakat untuk menggunakan perangkat digital, seperti smartphone, saat Khatib menyampaikan khutbah. Ada jemaah yang lebih memilih untuk mengecek media sosial, menonton video di YouTube, atau bahkan bermain game, daripada fokus pada khutbah yang disampaikan. Hal ini berpotensi mengurangi kualitas ibadah dan pemahaman terhadap pesan-pesan agama yang disampaikan. Dalam konteks ini, kita perlu mengingat sabda Rasulullah SAW yang menyatakan: “Apabila Khatib sedang menyampaikan khutbahnya, maka janganlah kalian berkata-kata, karena sesungguhnya jika ada yang berkata-kata, maka jumatnya tidak sempurna” (HR. Muslim). Hadits ini menekankan pentingnya konsentrasi dan kehadiran jiwa dalam ibadah, yang sering kali teralihkan oleh teknologi.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting tentang bagaimana seharusnya umat Islam menyeimbangkan antara kemajuan teknologi dan kewajiban beragama. Dalam masyarakat modern, rutinitas digital sering kali membuat individu sulit untuk fokus pada hal-hal yang seharusnya menjadi prioritas. Khutbah Jumat, yang seharusnya menjadi momen refleksi dan introspeksi, justru terabaikan oleh kebisingan dunia maya. Dalam konteks ini, timbul pertanyaan: apakah pesan-pesan spiritual yang disampaikan benar-benar didengarkan, ataukah kita hadir hanya secara fisik saja? Penelitian menunjukkan bahwa perhatian yang teralihkan dapat mengurangi kemampuan individu untuk menyerap informasi dan memahami makna yang mendalam dari khutbah. Dengan kata lain, kehadiran fisik di masjid tidak selalu sejalan dengan kehadiran spiritual yang diharapkan.

Seiring dengan perkembangan teknologi, kita menyaksikan perubahan dramatis dalam cara orang berinteraksi dan berkomunikasi. Media sosial telah menjadi platform yang memungkinkan individu untuk terhubung dengan orang lain, berbagi informasi, dan berpartisipasi dalam diskusi secara real-time. Namun, di balik kemudahan dan manfaat tersebut, terdapat dampak negatif yang tidak dapat diabaikan. Ketika seseorang hadir di masjid dengan tujuan untuk menyerap pesan-pesan spiritual yang disampaikan oleh Khatib, kehadiran ponsel pintar dan aplikasi media sosial sering kali menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan tersebut. Dalam banyak kasus, ada jemaah lebih memilih untuk terlibat dalam aktivitas digital yang tidak relevan daripada mendengarkan khutbah, yang seharusnya menjadi momen penting untuk refleksi spiritual.

Oleh karena itu, niat merupakan hal yang sangat penting dalam segala aktivitas, terutama dalam konteks ibadah. Niat menjadi fondasi yang mendasari setiap tindakan dan keputusan yang diambil. Tanpa niat yang jelas, segala tindakan dapat kehilangan arah dan tujuan. Dalam hal beribadah, niat adalah aspek yang sangat fundamental. Ketika seseorang datang ke masjid dengan niat untuk mendengarkan khutbah dan mendapatkan pencerahan, tetapi kemudian tergoda untuk membuka aplikasi di media sosial, niat awal tersebut menjadi teralihkan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga konsentrasi dan kesadaran saat beribadah.

Dalam konteks pencapaian terhadap suatu tujuan, penting untuk memperhatikan kaidah Ushuliyyah, yaitu prinsip-prinsip dasar dalam hukum Islam yang dapat digunakan untuk menganalisis fenomena tertentu. Kaidah ini menyatakan bahwa “segala sesuatu tergantung pada tujuannya” (al-umuru bimaqasidiha). Muhammad Az-Zuhaili dalam al-Qawa’id al-Fiqhiyyah-nya menjelaskan bahwa al-umuru bimaqasidiha adalah segala bentuk perkataan dan perbuatan yang berkaitan dengan maksud dan niat. Tiap perbuatan dihukumi dari niatnya. Atas dasar niat inilah perbuatan tersebut dihukumi, berpahala atau tidak, berdosa atau tidak, bersalah atau tidak, dan lain sebagainya (Muhammad Az-Zuhaili, al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah wa Tatbiqatuha fi al-Madzahib Al-Arba‘ah, Damaskus: Dar al-Fikr, 2006, J. I, 63-64). Dengan demikian, kaidah ini menggarisbawahi bahwa niat, apalagi dalam beribadah, akan menentukan kualitas ibadah itu. Meskipun seseorang tidak berkata-kata ketika Khatib sedang menyampaikan khutbah, jika hati dan niatnya dialihkan kepada hal-hal lain, maka itu juga termasuk berkata-kata dalam konteks tidak langsung.

Meskipun penggunaan gadget, bermain game, atau berinteraksi di media sosial tidak secara eksplisit dilarang dalam al-Qur’an maupun hadits, melalui kaidah Ushuliyyah ini, dapat dikemukakan hukum terkait fenomena tersebut. Situasi mendengarkan khutbah dapat diilustrasikan dengan situasi belajar di kelas, di mana interaksi digital yang mengganggu konsentrasi dapat berdampak negatif pada proses belajar. Dalam konteks ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun secara teknis tidak ada larangan, dampak dari tindakan tersebut terhadap kualitas ibadah perlu dipertimbangkan. Dengan mempertimbangkan dampak dari interaksi digital terhadap konsentrasi, seseorang dapat lebih menghargai pentingnya menjaga fokus saat beribadah.

Oleh karena itu, perlu disadari bahwa keberagamaan tidak hanya diukur dari kehadiran fisik di masjid, tetapi juga dari kualitas kehadiran spiritual. Ketika hati dan fisik lebih terhubung dengan dunia maya daripada mendengarkan khutbah, hal ini sebenarnya menjauhkan diri dari nilai-nilai spiritual yang seharusnya dipegang teguh. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam untuk tetap menjaga integritas dan kualitas keberagamaan di tengah derasnya arus informasi. Kesadaran beragama diharapkan dapat meningkat seiring dengan kemajuan teknologi. Masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan media sosial dan teknologi lainnya sebagai sarana untuk memperdalam pemahaman agama, bukan sebagai distraksi.

Pesan Rasulullah SAW tentang pentingnya mendengarkan khutbah hendaknya dipahami secara komprehensif, bukan hanya dipahami secara literal sebatas tidak berkata-kata atau berkomunikasi dengan orang lain. Momen khutbah Jumat seharusnya dijadikan sebagai waktu untuk merenung, belajar, dan memperbaiki diri. Dalam konteks ini, penting bagi setiap individu untuk menanamkan niat yang kuat dan menghilangkan segala bentuk distraksi agar dapat menyerap pesan spiritual yang disampaikan oleh Khatib. Akhirnya, di tengah perkembangan teknologi yang pesat, umat Islam diharapkan mampu menyeimbangkan antara kemajuan teknologi dan kewajiban beragama. Dengan memahami dampak dari interaksi digital terhadap kualitas ibadah, integritas spiritual dan optimalisasi pengalaman beribadah kita dapat terjaga. Semoga kita semua diberikan kekuatan untuk menjalani hidup ini dengan penuh kesadaran akan nilai-nilai spiritual yang hakiki. Aamiin.

https://palembang.tribunnews.com/2025/01/09/khutbah-jumat-yang-terabaikan-up-refleksi-terhadap-fenomena-keberagamaan-di-era-digital?fbclid=IwY2xjawJLFC1leHRuA2FlbQIxMQABHbpde74KhlS8fdf24zZYMVAbFfz7hwTIL5rgw4m7jATEXaFeVYkmfwXV1A_aem_MD-xvmiEbmpjkWY7bPGCvw