Female Divinity in the Qur’an: In Conversation with the Bible and the Ancient Near East
Penulis: Emran El-Badawi
Penerbit: Springer International Publishing AG (Juli, 2024)
ISBN: 9783031617997
Jumlah Halaman: 197
Dimensi: 210 x 148 mm
Buku Female Divinity in the Qur’an adalah sebuah karya reflektif yang ditulis oleh Emran El-Badawi sebagai bagian kedua dari trilogi tentang kekuasaan perempuan di Arabia. Buku ini mendekonstruksi pembacaan konvensional terhadap Al-Qur’an dengan menggali simbol-simbol tersembunyi dari ketuhanan perempuan yang berasal dari budaya Arab kuno, tradisi Timur Dekat Kuno, dan warisan pasca-Biblikal. Lewat pendekatan intertekstual dan historis, El-Badawi memaparkan bagaimana unsur-unsur pagan yang berpusat pada dewi-dewi kuno tidak sepenuhnya dihapus oleh Islam, tetapi malah direproduksi dan direpresentasikan dalam wujud simbolik yang kompleks dalam Qur’an.
Bab 1 – Introduction: Jejak Ketuhanan Perempuan dalam Al-Qur’an
Bab pembuka menjelaskan tujuan utama buku: melacak jejak-jejak ketuhanan perempuan dalam Qur’an dan menjelaskan bagaimana posisi perempuan berubah seiring dengan hadirnya Islam. El-Badawi berargumen bahwa teks Qur’an tidak berdiri dalam kehampaan, melainkan tumbuh dari lanskap agama dan budaya yang kaya, termasuk pengaruh mitologi Mesopotamia, Bibel, dan tradisi Aramaik. Dalam konteks Arabia akhir zaman kuno (Late Antiquity), perempuan memegang kekuasaan religius, politik, dan sosial—yang tercermin dalam keberadaan dewi-dewi seperti Allat, al-‘Uzza, dan Manat. Namun, dengan hadirnya Islam dan penegakan tauhid yang ketat, kekuasaan ini mengalami transformasi dan bahkan penolakan.
Bab 2 – The Ancient Tree: Pohon Sebagai Simbol Kesuburan dan Ketuhanan
Dalam bab ini, El-Badawi membahas simbol pohon dalam Qur’an, yang disebut hingga 56 kali, mulai dari pohon zaqqum di neraka, hingga pohon bidara (sidrah) di surga. Ia menghubungkan simbol-simbol ini dengan dewi-dewi kuno seperti Inanna (Mesopotamia), Asherah (Kanaan), dan al-‘Uzza (Arabia). Pohon, sebagai simbol kosmis dan feminin, mencerminkan kekuatan perempuan dalam melahirkan, memberi, dan mencipta. El-Badawi menunjukkan bahwa dalam Q 14:24–27, “kata yang baik” diumpamakan seperti pohon yang kuat dan subur—sebuah metafora yang sangat feminin. Selain itu, cerita Nabi Muhammad yang menerima bai’at “di bawah pohon” (Q 48:18) dibaca sebagai ritual warisan dari praktik penyembahan pohon suci yang sebelumnya diasosiasikan dengan dewi.
Bab 3 – The Divine Couple: Simbol Kesatuan Ilahi dan Seksualitas Sakral
Bab ini mengeksplorasi konsep pasangan ilahi dalam Qur’an dengan merujuk pada mitos Inanna dan Dumuzi (Ishtar dan Tammuz), pasangan dewa-dewi kuno yang melambangkan siklus kesuburan dan kematian. El-Badawi menunjukkan bahwa banyak simbol Qur’an—hujan yang menyuburkan tanah, pergantian malam dan siang, bahkan relasi antara suami-istri—menggemakan pola dualitas ilahi tersebut. Q 30:21 menyatakan bahwa pasangan manusia diciptakan agar mereka menemukan “sakinah” (ketenangan), sebuah konsep yang diulas secara mendalam sebagai refleksi dari tempat tinggal ilahi dalam berbagai literatur Aramaik dan Qur’an sendiri. Dalam kerangka ini, “rumah Tuhan” dalam jiwa manusia diibaratkan seperti relasi seksual yang penuh kasih—suatu ekspresi spiritual dari kekuatan feminin.
Bab 4 – Divine Birth: Penurunan Wahyu sebagai Tindakan Feminin
Di bab ini, El-Badawi menyamakan penurunan wahyu Qur’an dengan proses kehamilan dan kelahiran. Ia menyoroti bahwa Qur’an diturunkan pada bulan Ramadan—bulan kesembilan dalam kalender Arabia—dan ini disamakan dengan masa gestasi perempuan selama sembilan bulan. Malam laylat al-qadr dalam Q 97 pun dipahami sebagai malam kelahiran ilahi, sejenis “rahim kosmis” tempat turunnya wahyu. Ia menghubungkannya dengan teologi Kristen tentang Maria sebagai Theotokos (pembawa Tuhan), serta dengan mitos Dumuzi dan Inanna, di mana dewi melahirkan kembali kekasihnya dari alam maut. Ketuhanan perempuan, di sini, muncul dalam peran penciptaan dan pewahyuan.
Bab 5 – Daughters of God?: Dewa-Perempuan sebagai Ancaman Monoteisme
Bab ini berfokus pada kritik Qur’an terhadap kepercayaan bahwa Tuhan memiliki “anak-anak perempuan,” terutama Allat, al-‘Uzza, dan Manat (Q 53:19–22). El-Badawi menyebut mereka sebagai “Pagan Trinity,” yang oleh Qur’an didiskreditkan sebagai tidak pantas dan tidak masuk akal. Namun, ia menunjukkan bahwa kecaman ini bukan hanya teologis, tetapi juga bersifat politis dan patriarkal. Penolakan terhadap dewi-dewi ini mencerminkan pergeseran kekuasaan dari masyarakat matriarkal atau egaliter menuju struktur patriarkal yang lebih ketat. Penolakan terhadap “anak-anak perempuan Tuhan” juga dikaitkan dengan praktik penguburan bayi perempuan, yang dikritik keras dalam Qur’an (Q 81:8–9).
Bab 6 – The Rise of Allah: Dominasi Ketuhanan Laki-Laki
Bab terakhir menggambarkan bagaimana Allah, yang semula adalah salah satu dewa utama dalam politeisme Arabia, mengalami penguatan posisi hingga menjadi satu-satunya Tuhan dalam Islam. Dalam proses ini, seluruh simbolisme feminin yang dulu menandai alam semesta secara religius diserap, ditransformasikan, atau dihapus. Allah dalam Qur’an menjadi pemilik eksklusif kuasa ilahi, menggantikan seluruh mitologi dewa-dewi sebelumnya. Proses ini disebut El-Badawi sebagai “Tripartite Unity,” yaitu upaya teologis untuk menyatukan seluruh kekuatan ketuhanan—baik laki-laki maupun perempuan—ke dalam satu entitas maskulin tunggal.
Female Divinity in the Qur’an tidak hanya sebuah studi akademik, tetapi juga sebagai sebuah seruan untuk membaca ulang Al-Qur’an dengan pengamatan yang lebih peka terhadap simbolisme, konteks sejarah, dan dinamika gender. Buku ini bisa membuka ruang bagi dialog lintas budaya, agama, dan gender yang sangat relevan di masa kini.[]
Leave a Reply