
Ketika Mekkah menjadi pusat aktivitas dan pertemuan berbagai kabilah, di sanalah masyarakatnya memerlukan sarana untuk saling memahami, termasuk dalam dialek dan bahasa yang digunakan. Maka diadakanlah al-Aswaq (pasar-pasar) yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan. Di sana, diadakan berbagai perlombaan dan diskusi mengenai karya sastra, baik syair maupun pidato (Mudjia dan Kholil, Sosiolinguistik Qur’ani, 40). Dalam perlombaan tersebut, setiap peserta dituntut untuk memikat perhatian hadirin dengan menciptakan bahasa yang semenarik mungkin. Ternyata dialek orang-orang Quraisy-lah yang selalu mendominasi perlombaan dan dianggap lebih unggul dibandingkan dengan dialek-dialek lainnya.
Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa utama dari kelompok bahasa Semit dan merupakan bahasa yang memiliki sejarah tertua. Bahasa ini memiliki beberapa bahasa serumpun. Bahasa-bahasa Semit yang lain, seperti bahasa Suryani, Ibrani, Phoenisia, Aramaic, Arab, Mahri-Scotri dan Ethiopia, umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Tiga konsonan akar katanya saling berkaitan;
2. Memiliki kesamaan dalam pembentukan akar kata yang nominal dan verbal;
3. Memiliki kesamaan yang besar dalam bentuk-bentuk kata ganti dan penggunaannya dalam infleksi verbal;
4. Memiliki dua masa utama;
5. Memiliki kesesuaian dalam susunan dan binaan ayat-ayatnya yang penting.
Dari karakteristik bahasa Semit di atas, seluruh gambaran tentang bahasa Semit yang terjaga secara tepat, dapat ditemukan dalam bahasa Arab (Wan Mohd Nor, The Educational Philosophy, 337). Bahasa Arab adalah bahasa yang paling luas tersebar, bahkan hingga saat ini.
Bahasa Arab pra-Islam telah mencapai tingkat tertinggi di antara bahasa-bahasa bangsa manusia dan dalam sejarah berbagai bahasa di kalangan bangsa Arab. Bahasa ini telah mengalami pembaharuan dan mencapai kesempurnaan hakiki yang tidak dialami oleh bahasa-bahasa lainnya. Todorof, seorang pakar teori linguistik dari Perancis, sebagaimana dikutip oleh Wan Mohd Nor, menyatakan bahwa bahasa sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Masyarakatlah yang menentukan bahasanya. Perubahan semantik sangat berkaitan dengan perkembangan sejarah dan sosial, sebagaimana interpretasi relatif dan subjektif simbol-simbol linguistik. Perubahan semantik menunjukkan adanya perubahan sosio-budaya. Umumnya, bahasa itu sangat terbuka terhadap perubahan semantik yang dipengaruhi oleh perubahan sejarah dan sosial. Namun, bahasa yang demikian tidak menjamin ketepatan pengertiannya, terutama dalam konteks yang mencerminkan kebenaran mutlak dan objektif (Wan Mohd Nor, The Educational Philosophy, 335).
Perubahan yang dipengaruhi oleh sejarah dan sosio-budaya pada dasarnya tidak terjadi pada bahasa Arab. Karakteristik bahasa Arab berbeda dari bahasa lain dalam struktur semantiknya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Struktur linguistik bahasa Arab dibangun atas sistem akar kata yang kuat. Al-Attas menyatakan bahwa kandungan akar kata dalam bahasa Arab laksana pohon yang kokoh, akarnya menghujam ke dalam tanah. Setiap akar yang tertanam saling berkaitan satu sama lain, sehingga berpengaruh pada batang, dahan, cabang, ranting, daun dan sebagainya. Setiap paham dalam akar katanya saling berhubungan sehingga dapat mempengaruhi makna yang lebih besar. Akar kata tersebut tidak mungkin berubah dan diganti dengan yang lain (Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, 105).
2. Struktur semantiknya diatur oleh sistem bidang semantik yang jelas, yang memiliki pengaruh besar terhadap struktur konseptual dalam kosa kata;
3. Kata-kata, makna, tata bahasa dan ilmu persajakannya tercatat secara ilmiah dan mapan sehingga dapat menjaga keabadian semantiknya (Wan Mohd Nor, The Educational Philosophy, 337).
Dengan tingginya bahasa di kalangan bahasa-bahasa bangsa manusia dan dalam sejarah berbagai bahasa di kalangan bangsa Arab, itulah yang menjadikan masyarakat Arab sangat membanggakan kesusastraan mereka. Wibawa para penyair pada masa itu setara dengan para filsuf. Kandungan puisi yang mereka ciptakan dianggap setara dengan ilmu teologi (Ketuhanan), sehingga mereka diyakini memiliki otoritas di bidang keagamaan. Syair-syair yang diciptakan oleh para penyair dianggap sebagai ilham, layaknya wahyu Tuhan. Karena itu, mereka dikultuskan dan dianggap mampu mengetahui hal-hal yang ghaib (Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, 112).
Pewahyuan Al-Qur’an dan Kemukjizatan Bahasanya
Di tengah situasi masyarakat yang mengkultuskan para penyair itulah al-Qur’an diturunkan. Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa Arab yang sempurna (fuṣḥā), dengan keindahan retorika dan kedalaman makna, serta mengandung variasi kebahasaan yang tinggi (QS. Yūsuf, 12: 2; QS. Al-Syu‘arā’, 26: 192-195). Rasulullah Saw sebagai penerima wahyu tersebut dikenal sebagai sosok yang ummi, dalam arti tidak dididik di sekolah-sekolah formal maupun informal (unschooled man). Nabi juga tidak pandai tulis menulis (unlettered), dan tidak terlibat dalam komunitas puitis para penyair yang sangat popular pada saat itu (Asif Tufal, The Miraculous Nature of The Qur’an, 15). Latar belakang Nabi Saw yang demikian menimbulkan rasa takjub oleh masyarakat Arab saat itu, sehingga mereka bertanya-tanya bagaimana manusia biasa seperti Muhammad dapat mendatangkan bahasa yang begitu indah.
Ini membuktikan bahwa gaya bahasa al-Qur’an sangat berbeda dari style bahasa Arab pada umumnya. Ketika ayat al-Qur’an dibacakan kepada mereka, berdasarkan pengalaman ‘sastra’ yang dimiliki oleh bangsa Arab jahiliyah, mereka menyadari bahwa gaya bahasa al-Qur’an sangatlah sempurna. Bahasa al-Qur’an melebihi keindahan sastra yang diciptakan oleh manusia manapun. Gaya bahasa yang dibawanya belum pernah ditemukan dalam karya-karya mereka sebelumnya (Tufal, The Miraculous, 7). Oleh karena itu, keindahan bahasa al-Qur’an sangat dikagumi, tidak hanya bagi orang mukmin, tetapi juga orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrikin seringkali secara sembunyi-sembunyi berusaha mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca oleh umat Islam (M. Qurasih Shihab, Membumikan al-Qur’an, 23).
Jika ada anggapan bahwa bahasa al-Qur’an serupa dengan bahasa Arab pada umumnya, mengapa terjadi revolusi pada bangsa Arab saat itu, misalnya terjadi pada pribadi Saidina Umar Ibn Khattab ketika membaca Surat Ṭāha. Itulah yang menjadi asal mula keislaman Saidina Umar (Al-Aṣfahānī, Ḥilyat al-Auliyā’, 1988).
Seiring dengan datangnya Islam dan pewahyuan al-Qur’an, bahasa Arab menjadi entitas baru. Meskipun redaksi dan pola penuturannya sama, makna yang terkandung dalam bahasa Arab pra-Islam berbeda dari bahasa Arab yang diwahyukan dalam al-Qur’an. Bahasa Arab al-Qur’an mampu menempati kedudukan yang sangat tinggi dalam pengucapan dan pemikiran manusia. Paham-paham yang terkandung dalam istilah dasarnya telah mencapai nilai kebenaran yang mapan, yang tidak lagi mengalami perubahan, bahkan ditengah perubahan zaman.
Ketika Islam telah menyebar ke seluruh bangsa, maka kesan pertama yang tercermin dari keislaman itu terlihat pada bahasa bangsa-bangsa tersebut. Bahasa merupakan cerminan dari pengislaman suatu bangsa. Dari sisi kebudayaan, pengislaman bahasa sangat diutamakan oleh Islam, karena pengislaman bahasa berimplikasi pada pengislaman pemikiran. Pemikiran yang diislamkan tercermin pada istilah dasar Islam yang diterjemahkan melalui bahasa Arab (Al-Attas, Risalah, 109). Pengislaman bahasa merupakan unsur utama dalam pemahaman Islam serta kebudayaan dan peradaban Islam secara keseluruhan.
Setelah pewahyuan al-Qur’an, dorongan untuk mempelajari bahasa Arab semakin meningkat, terutama karena faktor Agama, bukan faktor-faktor lain seperti ekonomi atau politik. Bahkan, dapat dikatakan bahwa perkembangan bahasa Arab berbanding lurus dengan penyebaran agama Islam. Atas dasar ini, Al-Attas meyakini bahwa bahasa Arab telah dibebaskan melalui proses islamisasi. Proses ini menjadikan manusia terbebas dari paham sekuler yang mengontrol akal, pikiran, bahasa, serta pengaruh magis, mitologis, animisme, tradisi nasional dan kebudayaan yang bertentangan dengan Islam (Al-Attas, Islam and Secularism, 44). Beberapa ahli bahasa (leksikolog) Orientalis Barat pun meyakini bahwa pada saat al-Qur’an diwahyukan di tanah Arab, bahasa Arab (jahiliyah) akhirnya mengalami proses perubahan yang sangat drastis (Al-Attas, The Concept of Education in Islam, 8-9).
Dengan demikian, islamisasi bahasa telah dimulai sejak pertama kali al-Qur’an diwahyukan. Al-Qur’an mampu mempertahankan otentisitas bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa yang masih hidup di antara beberapa rumpun bahasa purba. Al-Qur’an lah yang menjaga bahasa Arab dari perubahan-perubahan, sehingga tetap eksis hingga saat ini. Setiap makna dari ungkapan bahasa Arab dapat dirujuk dalam perbendaharaan semantik al-Qur’an, bukan ditentukan oleh perubahan sosial dan produk budaya (Al-Attas, The Concept of Education in Islam, 46).
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an bukan semata-mata karena diturunkan di tanah Arab, tetapi karena kekayaannya dalam kosakata serta memiliki sistem akar kata yang kuat, sehingga maknanya tetap terpelihara. Bahasa Arab yang awalnya hanya dianggap sebagai bahasa sastra, lalu berubah menjadi bahasa ilmu pengetahuan, intelektual, dan saintifik. Proses pengislaman bahasa ini mempengaruhi cara berpikir para pembacanya dan masyarakatnya. Meskipun terkadang bahasa dipengaruhi oleh paham dan istilah asing, hal itu tidak akan membingungkan pemikiran selama umat Islam memahami keislamannya. Bahkan, paham asing dapat disesuaikan dengan semangat ajaran Islam tanpa mengubah makna dasarnya.
Referensi
Abī ‘Abd Allāh al-Ḥusain ibn Aḥmad al-Zauzanī, Syarḥ al-Mu‘allaqāt al-Sab‘ (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2004).
Abū Nu‘aim al-Aṣfahānī, Ḥilyat al-Auliyā’ wa Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’ (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988).
Asif Tufal, The Miraculous Nature of The Qur’an, (London: 1993).
M. Qurasih Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998).
—————, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013).
Mudjia Raharjo dan Kholil R, Sosiolinguistik Qur’ani (Malang: UIN Malang Press, 2008).
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).
—————, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999).
—————, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001).
Wan Mohd Nor Wand Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of The Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998).