Oleh: Dr. Rahmat Hidayat, Lc., M.Phil
Dosen FUSHPI dan Sekprodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Di tengah arus perubahan yang cepat dalam dunia modern, pendidikan menjadi topik yang sangat relevan untuk dibahas. Dialog yang mendalam antara Sujiwo Tejo, seorang seniman dan budayawan, dengan dr. Roslan Al-Imam Yusni Hasan, Sp.B.S., seorang dokter ahli bedah yang sukses, memberikan wawasan baru mengenai pentingnya pendidikan dalam mencapai kesuksesan. Diskusi ini mengeksplorasi berbagai perspektif tentang bagaimana pendidikan dapat membentuk masa depan, khususnya generasi millennial. Melalui tulisan ini, penulis berharap dapat mengingatkan dan merefresh mindset generasi millennial tentang betapa pentingnya pendidikan dalam kehidupan sehari-hari.
Di sebuah platform media sosial “Instagram”, Sujiwo Tejo, nampak serius mendengarkan obrolan dr. Roslan (
) Mereka terlibat dalam sebuah diskusi yang mendalam, yang penulis simpulkan seputar pendidikan dan makna kesuksesan.
Dalam sebuah diskusi tersebut, Roslan mengatakan kepada Sujiwo Tejo bahwa anaknya pernah mengungkapkan keengganannya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ungkapan tersebut muncul dari keyakinan bahwa “orang tidak kuliah saja bisa sukses,” dan sebagai contoh, dia menyebut nama besar Steve Jobs.
Siapa yang tidak mengenal Steve Jobs? Ia adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam dunia teknologi dan bisnis, dikenal sebagai pendiri Apple Inc., perusahaan yang telah merevolusi cara manusia berinteraksi dengan teknologi. Steve Jobs lahir pada 24 Februari 1955, dan meskipun ia dikenal sebagai seorang inovator ulung, latar belakang pendidikannya tidaklah konvensional. Ia pernah terdaftar di Reed College, sebuah perguruan tinggi seni di Portland, Oregon. Namun, setelah hanya dua tahun menempuh pendidikan, Jobs memutuskan untuk keluar (Kompas, Profil Steve Jobs Anak Imigran Muslim yang Mendirikan Apple, 2022). Keputusan ini mungkin terlihat kontroversial bagi banyak orang, terutama di masyarakat yang terkadang menganggap gelar akademis sebagai syarat utama untuk mencapai kesuksesan. Dalam pidatonya di acara wisuda Stanford University pada 12 Juni 2005, Jobs dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak lulus dari perguruan tinggi (Medcom, Biografi Steve Jobs Pendiri Apple…., 2022). Tentu pengalaman dan pelajaran hidup yang ia peroleh selama perjalanan tersebut jauh lebih berharga daripada sekadar gelar.
Meskipun Jobs tidak menyelesaikan pendidikannya, ia berhasil menciptakan produk-produk yang mengubah dunia, seperti iPhone dan MacBook. Produk-produk ini membentuk kembali industri teknologi secara keseluruhan. Barangkali, Steve Jobs adalah contoh yang luar biasa, sebuah pernyataan yang sangat mengesankan bagi anak Roslan. Nama Steve Jobs sudah menjadi legenda dalam dunia teknologi dan inovasi.
Lalu, Roslan, menanggapi pernyataan anaknya, “Tapi kamu harus ingat dan tahu, Mas, dari 2 miliar orang yang tidak sekolah, berapa banyak orang yang seperti dia? Berapa banyak yang bisa mencapai kesuksesan yang sama?” Pernyataan ini membuka sebuah diskusi yang lebih dalam tentang realitas pendidikan dan kesuksesan. Roslan mengajak anaknya untuk melihat lebih jauh dari sekadar contoh satu individu. Ia menekankan bahwa meskipun Jobs berhasil tanpa pendidikan formal, tidak semua orang memiliki kesempatan atau kemampuan untuk mengikuti jejaknya.
Keberhasilan dan kesuksesan tidak selalu datang dari jalan yang sama bagi setiap individu. Dalam dunia yang penuh dengan berbagai tantangan dan rintangan, pendidikan formal sering kali menjadi salah satu faktor kunci yang dapat menentukan arah hidup seseorang. Pendidikan memberikan pengetahuan, keterampilan, dan jaringan yang diperlukan untuk meraih cita-cita. Namun, pendidikan bukanlah satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Terdapat banyak contoh individu yang berhasil tanpa latar belakang pendidikan yang konvensional selain Jobs, namun mereka tetap mampu mencapai puncak kesuksesan. Roslan melanjutkan dengan mengajukan pertanyaan lain yang menggugah pemikiran anaknya: “kira-kira, dari jutaan orang yang jadi direktur, berapa orang yang tidak sekolah?” Dalam dunia yang semakin kompleks dan kompetitif, pendidikan formal sering kali menjadi salah satu faktor penentu yang membedakan antara individu yang berhasil dan yang tidak.
Banyak direktur dan pemimpin perusahaan terkemuka di dunia memiliki latar belakang pendidikan yang solid, dari universitas-universitas terkemuka, misalnya para CEO dari perusahaan-perusahaan Fortune 500. Mereka memiliki gelar Sarjana dan bahkan Pascasarjana dari institusi yang diakui secara Internasional. Perusahaan-perusahaan tersebut dapat dilihat dalam daftar perusahaan-perusahaan top dunia yang dirilis oleh majalah Fortune di Amerika Serikat (Okezone, Daftar 10 CEO Amerika dan Latar Belakang Pendidikannya, 2016). Ini menunjukkan bahwa meskipun ada pengecualian, pendidikan formal juga membuka pintu untuk peluang yang lebih besar di dunia kerja.
Dari pengalaman kedua tipe kesuksesan di atas, baik yang berpendidikan sarjana maupun yang tidak, dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal tidak selalu menjadi satu-satunya jalur untuk mencapai kesuksesan. Dalam masyarakat modern saat ini, banyak individu yang berhasil meraih prestasi luar biasa tanpa gelar akademis yang tinggi. Di samping itu, pendidikan formal juga sering kali dianggap sebagai fondasi yang kuat untuk memasuki dunia kerja. Banyak perusahaan mengutamakan kandidat yang memiliki gelar sarjana sebagai syarat dasar dalam proses perekrutan. Gelar ini sering kali menjadi indikator kemampuan seseorang dalam menguasai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam bidang tertentu.
Kembali lagi ke percakapan Roslan dengan anaknya. Sang dokter menekankan bahwa sekolah itu merupakan sarana “memperbesar kemungkinan-kemungkinan” untuk mendapatkan hidup yang layak. Pernyataan ini mencerminkan bahwa pendidikan berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan individu dengan berbagai peluang yang mungkin tidak dapat diakses tanpa pendidikan formal.
Memang tidak ada jaminan bahwa dengan sekolah, hidup seseorang akan lebih layak atau lebih baik dari yang lain, tegas Roslan. Namun, penting untuk mencermati bahwa meskipun pendidikan tidak menjamin kesuksesan, ia memberikan fondasi yang kuat bagi individu untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam dunia kerja. Pendidikan lebih kepada “proses pembelajaran yang membentuk karakter dan pola pikir individu”. Dalam hal ini, pendidikan berfungsi sebagai alat untuk membangun kapasitas intelektual dan emosional yang akan sangat berguna ketika seseorang menghadapi tantangan di masa depan.
Lebih jauh, Roslan mengajukan pertanyaan kepada anaknya yang mengundang refleksi: “lebih besar mana ‘kemungkinannya’ orang dipilih untuk menjadi direktur atau katakanlah manajer di suatu perusahaan, yang mempunyai pendidikan sarjana (S1, S2, dan S3) daripada yang tidak berpendidikan?” Dalam banyak kasus, perusahaan lebih cenderung memilih kandidat yang memiliki gelar pendidikan tinggi karena mereka dianggap lebih siap untuk menghadapi tantangan yang kompleks dalam dunia bisnis. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga sebagai indikator kualitas dan kemampuan individu.
Sebagai ilustrasi, ada dua individu yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda. Individu pertama, adalah seorang lulusan S1, misalnya di bidang manajemen, sementara yang kedua hanya memiliki pendidikan menengah. Ketika keduanya melamar pekerjaan sebagai manajer di sebuah perusahaan, individu yang berpendidikan S1 akan memiliki keunggulan dalam hal pemahaman tentang teori manajemen, strategi bisnis, dan keterampilan interpersonal yang diperlukan untuk memimpin tim. Lulusan S1 mungkin telah mempelajari berbagai metode analisis bisnis yang membantu mereka dalam membuat keputusan yang lebih baik. Di sisi lain, individu yang tidak berpendidikan formal mungkin memiliki pengalaman kerja yang berharga, tetapi tidak memiliki pemahaman yang sama tentang konsep-konsep yang diharapkan dalam posisi manajerial. Dari sini dapat dilihat bahwa pendidikan formal dapat memberikan keunggulan yang signifikan dalam mendapatkan posisi yang lebih tinggi dalam suatu perusahaan.
Melalui dialog inspiratif di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan bukan hanya tentang mendapatkan gelar, tetapi juga tentang mengembangkan diri dan memperluas wawasan. Pendidikan adalah perjalanan yang kompleks dan mendalam, di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi potensi mereka dan menemukan jati diri. Di era globalisasi yang semakin berkembang pesat, dunia menjadi sangat kompetitif. Setiap individu dituntut untuk memiliki keunggulan yang membedakannya dari yang lain. Tanpa pendidikan yang memadai, akan sulit untuk bersaing. Generasi muda atau milenial kiranya tidak terjebak pada pandangan sempit bahwa kesuksesan dapat dicapai tanpa pendidikan formal. Padahal pendidikan adalah alat yang dapat membantu untuk “memperbesar kemungkinan” menuju kesuksesan.
Jangan hanya melihat individu yang berhasil tanpa pendidikan; ingatlah bahwa mereka adalah pengecualian, bukan aturan. Setiap pelajaran dan pengalaman di sekolah maupun di bangku kuliah adalah batu loncatan menuju kesuksesan. Pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam kelas; pengalaman di luar kelas, seperti magang, organisasi mahasiswa, atau proyek sosial, juga sangat berharga. Yang terpenting, bukan hanya kesuksesan materi yang dikejar, tetapi juga berusaha untuk memberikan manfaat yang positif bagi individu dan masyarakat. Jadi, belajarlah dengan sepenuh hati dan jangan pernah meremehkan kekuatan pendidikan.